Panas matahari tidak menyurutkan niat saya untuk berjalan-jalan ke Monumen Bantarangin yang terletak di Somoroto, kecamatan Kauman, Ponorogo. Monumen Bantarangin ini dibangun untuk menghormati kerajaan yang pernah berdiri di wilayah tersebut, yaitu Kerajaan Bantarangin yang dipimpin oleh Prabu Klono Sewandono. Berdasarkan legenda, masyarakat percaya bahwa Kerajaan Bantarangin merupakan asal muasal berdirinya Ponorogo.
Semakin menarik minat saya untuk berkunjung setelah mendengar cerita seorang teman bahwa di Monumen Bantarangin yang ini menyimpan banyak misteri. Mungkin ini juga yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan luar kota untuk berkunjung menapak tilas sejarah kota kecil ini.
Di sekitar Monumen Bantarangin terdapat beberapa warung kecil. Di sana lah saya bertemu Pak Bibit, penduduk asli Bantarangin. Pak Bibit banyak bercerita mengenai kejadian-kejadian yang pernah terjadi di Monumen Bantarangin dan sekitarnya. Katanya, cerita mistis dan mitos-mitos yang beredar di masyarakat ini justru dialami oleh pengunjung dari luar kota. Sementara warga sekitar tidak pernah mengalami kejadian serupa.
“Ceritane kathah mbak, tapi tiyang daerah mriki mboten pernah nyritakne babakan niku. Sing kathah niku tiyang njawi umpami mriki. Sok-sok wong lintu daerah, niku sok-sok dingerteni (ceritanya banyak mbak, tapi orang daerah sini tidak pernah mengalami itu. Yang banyak orang luar yang ke sini. Kadang orang lain daerah dilihatin).” Ujar pak Bibit, masyarakat sekitar Monumen Bantarangin.
Saya merasa penasaran apa sebenarnya yang sering dilihat oleh pengunjung, karena saat itu saya datang sendiri ke Monumen Bantarangin sendiri dan saya tidak merasa ada kejanggalan. Pak Bibit bercerita bahwa wisatawan yang berkunjung ke Monumen Bantarangin dan sekitarnya sering dijumpai dengan makhluk halus seperti kucing putih, macan, dan wujud orang-orang kerajaan. Konon, di sekitar Monumen Bantarangin juga terdapat kotak atau peti yag berisikan pusaka kerajaan. Peti tersebut tidak kasat mata sehingga orang biasa tidak dapat melihat wujud benda tersebut. Pak Bibit menambahkan bahwa pernah ada masyarakat luar daerah yang berkunjung ke kawasan Monumen Bantarangin pernah melihat peti berisi pusaka itu.
“Rumiyen wonten tiyang, corone pengen njaluk gaman sing digowo tiyang mboten ketok. Pengen disuwun ngaten lho. Nggih kulo sanjang, yen njenengan gadhah niat niku nggih njenengan niati piambak, kulo mboten ngertos. Lha tiyang niku tilem wonten ngisor wit trembesi wingking niko. Tirose dalu niku diuncalne dugi diselan sawah. Lha lek kulo tilem mriku nggih mboten nopo-nopo.” cerita Pak Bibit.
Pak bibit melanjutkan cerita. Beliau berkisah, sering ada pelajar yang melakukan camping di Monumen Bantarangin, banyak yang kesurupan. Kebanyakan mereka yang menggunakan baju warna hijau pupus. Saat ditanya mengapa seperti itu, Pak Bibit juga kurang paham mengapa warna tersbut menjadi warna yang sensitif.
Sementara itu, terkait dengan nama Bantarangin, pak Bibit menuturkan bahwa nama itu terkait artinya dengan mendatangkan angin besar. Pernah pada saat ada acara di pelataran Monumen Bantarangin, tenda yang sudah dipasang roboh karena diterpa angin yang sangat kencang.
“Pernah pas acara ulang tahun niko mbak, terop niku diwolak-walek. Nggih wangune sajene kirang,” tutur Pak Bibit sambil tertawa kecil.
Setelah mendengar berbagai cerita dari Pak Bibit, saya dan berpamitan karena hari sudah siang dan matahari semakin terik. Saya kembali ke pelataran Monumen Bantarangin untuk mengambil beberapa gambar.
Cerita dari tanah Bantarangin ini mengingatkan saya agar selalu hati-hati, menjaga sikap di manapun, dan tetap menghormati kehidupan dunia lain. Karena kita hidup berdampingan, maka kita harus saling menghargai.
Benarkah kejadian-kejadian tersebut? Benarkah mitos itu memang terjadi? Hilangkan rasa penasaranmu dengan berkunjung langsung ke Monumen Bantarangin, Ponorogo. Luruskan niat, jaga sikap. Salam Pariwisata!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar