Sejak
era reformasi, ketika terbuka kebebasan menyampaikan segala bentuk gagasan, ide, dan juga keterbukaan
akses informasi menjadikan televisi sebagai media pengantar pesan
berupa paduan grafis, tulisan, dan suara yang lebih diminati publik. Sebagai media massa yang masih begitu populer,
televisi menjadi media yang sangat berpengaruh pada pembentukan pola pikir
masyarakat. Televisi menjadi penyebar pesan yang beragam, merefleksikan
kebudayaan masyarakat secara langsung kepada publik yang heterogen (Rony,
Kawegian, & Golung, 2014).
Televisi
merupakan ruang yang memungkinkan terjadinya transfer gagasan
atau ide yang ditanamkan oleh media kepada publik. Televisi menggunakan spektrum frekuensi milik publik yang harus dikelola dengan bijak. Seperti yang telah dijelaskan dalam peraturan perundangan tentang penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran bahwa frekuensi media penyiaran bersifat meminjam sehingga media harus mengutamakan kepentingan publik. Media penyiaran idealnya tidak boleh menggunakan frekuensi yang telah diberikan dengan semena-mena dan harus menayangkan program dengan durasi yang wajar. Televisi sebagai media penyiaran bergambar seharusnya menjaga keseimbangan fungsi media informasi, edukasi, dan entertainment serta kontrol dan perekat sosial sehingga media menjaga integrasi nilai, moral, dan budaya (UU No. 32 tahun 2002).
atau ide yang ditanamkan oleh media kepada publik. Televisi menggunakan spektrum frekuensi milik publik yang harus dikelola dengan bijak. Seperti yang telah dijelaskan dalam peraturan perundangan tentang penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran bahwa frekuensi media penyiaran bersifat meminjam sehingga media harus mengutamakan kepentingan publik. Media penyiaran idealnya tidak boleh menggunakan frekuensi yang telah diberikan dengan semena-mena dan harus menayangkan program dengan durasi yang wajar. Televisi sebagai media penyiaran bergambar seharusnya menjaga keseimbangan fungsi media informasi, edukasi, dan entertainment serta kontrol dan perekat sosial sehingga media menjaga integrasi nilai, moral, dan budaya (UU No. 32 tahun 2002).
Sayangnya,
televisi di Indonesia saat ini telah banyak melakukan kesalahan. Pertelevisian
Indonesia banyak melakukan pelangaran atas kepentingan publik. Hal ini
ditunjukkan dengan menurunnya kualitas program siaran sehingga media seakan
lupa dengan kewajiban menayangkan program yang lebih berkualitas dan lebih
dibutuhkan oleh publik. Beberapa tayangan televisi menjadikan dalih “tayangan informatif”
sebagai alasan untuk mengemas tayangan hiburan. Ironisnya, tayangan tersebut
dibuat dengan durasi yang tidak wajar. Hal itu sama dengan tidak memenuhi
kepentingan publik sebagai pemilik frekuensi (Priyo, 2015). Seperti yang telah
terjadi beberapa waktu lalu, ketika salah satu tayangan televisi swasta
menayangkan secara tidak wajar tentang artis Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, televisi
tersebut menyebut tayangannya sebagai tayangan informatif (Priyo, 2015). Padahal
jika acara tersebut dikemas dengan lebih bijak dapat memberikan informasi yang
dimaksud tanpa mengganggu kebutuhan publik.
Dalam
praktiknya, rating menjadi hal yang sangat penting bagi media televisi. Rating yang
tinggi menunjukkan tingkat minat publik terhadap suatu program televisi. Rating
yang tinggi juga mendorong pengiklan masuk sebagai sponsor sebuah acara
sehingga memberikan keuntungan finansial bagi media televisi. AGB Nielsen misalnya, adalah salah satu
lembaga survey rating yang hingga saat ini dipercayai oleh para pengelola
stasiun televisi. Adanya pemeringkatan rating yang diadakan oleh AGB Nielsen ini menjadikan pengelola
stasiun televisi untuk berlomba meningkatkan rating dengan segala macam cara
sehingga lupa membuat program acara yang lebih berkualitas (Susanto, 2009). Rating
menjadi patokan bagi media televisi untuk melanjutkan atau menghentikan program
tayangannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rating menjadi menjadi sebuah
keniscayaan bagi pengelola program televisi, khususnya yang tengah terjebak profit oriented.
Media
memandang publik sebagai “pasar” yang mengkonsumsi tayangan apapun di televisi.
Semakin lama pertelevisian Indonesia semakin terlihat komersil dengan mengejar
rating. Program-program televisi telah mengikuti selera pasar untuk dan tidak
peduli apabila tayangan tersebut tidak mendidik masyarakat. Arif Suditomo
(dikutip dalam Susanto, 2009) menuliskan bahwa tidak mungkin televisi
mengabaikan publik yang dominan meskipun acara itu hanya didominasi dengan
tayangan-tayangan hiburan. Hal ini menunjukkan bahwa industri program televisi
di Indonesia saat ini cenderung menambah program acara hiburan yang dapat
mendatangkan profit dan kurang memperhatikan fungsi media massa yang lain.
Referensi :
-Priyo. (2015). Tayangan Anang dan Domain Publik. diakses pada 2 April 2016 melalui http://www.kompasiana.com/priyosm/tayangan-anang-dan-domain-publik_54f9212ea333112d3c8b4cd2Referensi :
- Rory, S., Kawengian, Debby D.V., Golung, Antonius M. (2014). Efektifitas Tayangan "Yuk Keep Smile" di Trans TV terhadap Pemenuhan Hiburan Pemirsa di Kelurahan Walian. Jurnal Acta Diurna, 3 (2).
- Susanto, Eko Harry. (2009). Rating Televisi dan Masyarakat Desa. Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanegara, ISSN : 2085 1979
- P3SPS
- Undang-Undang Nomer 32 tahun 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar